Beranda | Artikel
Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 4)
1 hari lalu

Tidak ada kontradiksi antara dalil wahyu dan akal

Konsep ini merupakan kaidah murni rumusan ahli sunah waljamaah. Mereka selalu berpegang teguh dengan konsep tersebut baik dalam rangka menjelaskan akidah Islam secara murni maupun mengkritisi akidah aliran lain. 

Para nabi adalah orang-orang yang dijaga oleh Allah dari kesalahan. Mereka tidak akan berucap hal-hal yang keliru mengenai Allah. Mereka juga tidak akan menyampaikan wahyu, kecuali dengan jujur. Siapa saja yang mengklaim bahwa di dalam wahyu yang disampaikan para nabi terdapat hal yang bertentangan dengan akal, ia telah menyatakan klaim yang tidak sesuai fakta. Hanya ada dua kemungkinan dalam hal ini, yaitu: 1) akal tersebut tidak sehat atau 2) riwayat wahyu tersebut yang tidak sahih.

Hal-hal yang diketahui secara pasti dan bersumber dari para nabi, tidak mungkin terjadi kontradiksi dengan akal. Hal-hal yang diketahui secara pasti dan selaras dengan akal, tidak mungkin terjadi kontradiksi dengan wahyu yang disampaikan para nabi. [1] Oleh karenanya, sudah jelas bahwa akal yang sehat tidak bertentangan dengan wahyu yang sahih. Kesimpulan tersebut dapat dicapai ketika seseorang telah melakukan penelitian yang mendalam terhadap dalil-dalil syar’i.

Asy-Syathibi rahimahullah berkata, ”Penelitian menunjukkan bahwa hukum syariat ini berjalan selaras dengan rasionalitas akal. Oleh karenanya, akal sehat dapat membenarkannya dan juga orang yang taat secara sukarela maupun terpaksa akan mematuhinya.” [2]

Syekhul Islam rahimahullah berkata, ”Tidak terbayang ada hal-hal yang diketahui secara akal sehat kemudian bertentangan dengan wahyu. Bahkan, akal sehat sama sekali tidak kontradiktif terhadap wahyu yang sahih. Saya telah merenungi konsep tersebut pada hal-hal yang menjadi perselisihan manusia. Saya temukan bahwa perkara-perkara yang menyelisihi wahyu yang sahih lagi gamblang merupakan kerancuan pemikiran (syubhat) yang rusak. Syubhat tersebut beserta sanggahannya dapat diketahui dengan akal. Poin ini saya renungi pada permasalahan yang besar seperti tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, kenabian, hari kebangkitan, dan seterusnya. Saya temukan bahwa hal-hal yang dapat diketahui dengan akal sehat tidak bertentangan dengan wahyu sama sekali.” [3]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Hal-hal yang secara sepakat dapat diketahui dengan akal sehat, tidak mungkin diselisihi oleh wahyu dan dibiarkan kontradiktif begitu saja. Siapa saja yang merenungi hal tersebut pada hal-hal yang menjadi letak perselisihan manusia berupa permasalahan besar, maka akan ditemukan adanya kerancuan pemikiran (syubhat) yang rusak. Syubhat tersebut beserta sanggahannya dapat diketahui dengan akal. Renungi hal tersebut pada permasalahan yang besar seperti tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, kenabian, dan hari kebangkitan, kamu akan dapati tidak ada wahyu yang menyelisihi akal sehat. Jika ada wahyu yang menyelisihi akal, ada dua kemungkinan, yaitu periwayatannya bersumber dari hadis palsu atau makna yang terkandung di dalam wahyu tersebut sebenarnya tidak berseberangan dengan rasionalitas akal.” [4]

Ringkasnya, ahli sunah waljamaah meyakini poin-poin berikut:

Pertama: Tidak mungkin terjadi adanya kontradiksi antara wahyu yang sahih dengan akal sehat.

Kedua: Setiap orang yang paling terdepan dalam mengimani wahyu para rasul lantas mengamalkannya, ia merupakan orang yang paling sempurna akal dan ketaatannya. Sebaliknya, setiap orang yang paling terbelakang dalam mengimani wahyu para rasul dan melaksanakan amalan wahyu tersebut, ia adalah orang yang paling lemah akal dan ketaatannya. [5]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Tidak ada orang yang menentang wahyu, kecuali Allah akan membuat akalnya rusak sampai ia mengucapkan hal-hal yang menjadi bahan tertawaan bagi orang-orang berakal.” [6]

Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata, ”Setiap orang yang berkata dengan opini, perasaan, atau kecerdasannya, padahal wahyu telah mengatakan sebaliknya, maka ia telah menyaingi iblis, karena iblis dahulu tidak mau menerima wahyu Tuhannya. Demikian berlaku pula bagi orang yang menentang wahyu dengan akal.” [7]

Ketiga: Setiap syubhat (meskipun diklaim sebagai hal yang rasional) yang menyelisihi wahyu adalah omong kosong. Akal sehat adalah entitas terdepan yang mengetahui kerancuannya. Tidak ada keraguan bahwa hal-hal yang rasional secara hakiki dapat menunjukkan kesalahan syubhat yang menyalahi wahyu yang sahih. [8]

Keempat: Setiap orang yang mengklaim bahwa terdapat kontradiksi antara akal dan wahyu hanya memiliki 3 kemungkinan, yaitu: 1) periwayatan wahyu tersebut tidak sahih, 2) pemahaman terhadap wahyu tersebut tidak sahih, atau 3) akal yang digunakan tidak sehat. [9]

Kelima: Jika ada dugaan kontradiksi antara akal dan wahyu, sedangkan kita belum mampu menghilangkan dugaan tersebut, wajib bagi kita untuk memenangkan wahyu dan mencurigai keterbatasan akal kita. [10] Inilah konsep universal bagi ahli sunah waljamaah. Allah Ta’ala berfirman, 

ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.’‘ (QS. Al-A’raf: 3)

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah menulis surat yang berisi, ”Tidak ada ruang untuk beropini bagi siapa pun ketika telah datang sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” [11]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, ”Seluruh perkara yang menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi gugur. Tidak ada opini maupun analogi yang berdiri sejajar dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya Allah telah memutus dalih manusia dengan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”[12]

Kembali ke bagian 3: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 3)

***

Penulis: Syaroful Anam


Artikel asli: https://muslim.or.id/96324-kesempurnaan-islam-dalam-memuliakan-akal-4.html